Menarik belakangan ini terkait paparan Nadiem Makariem dalam menyikapi penolakan draf RUU berbagai kalangan terkait isu dihapusnya TPG (Tunjangan Profesi Guru) dalam draf Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) versi Agustus serta diperjelas juga oleh Iwan Syahril dari Ditjen GTK (Guru dan Tenaga Kependidikan) dalam acara Taklimat Media tentang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di akhir September 2022.
Kalau kita tafsirkan dari dialektika yang dibangun oleh pemerintah terkait RUU Sisdiknas maka semiotikanya nampak dari beberapa rilisan yang muncul terkait persoalan salah satunya persoalan tunjangan TPG. bisa jadi apa yang dicurigai sebagai penghapusan TPG menjadi hal faktual adanya. Rumusan sederhananya ketika menjelaskan tentang sisa 1,6 juta guru yang belum mendapatkan TPG karena belum bersertifikat, maka ketika RUU Sisdiknas disyahkan menjadi undang undang Sisdiknas yang baru, maka guru yang 1,6 juta tersebut mendapatkan tunjangan yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan para guru. Paparan berikutnya yang memperjelas akan rencana pemutihan TPG adalah argumentasi pihak Kemendikbudristek (Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi) dalam memaparkan tunjangan fungsional guru yang selama ini tidak berjalan di kalangan guru ASN karena dari konstruksi penganggaran tunjangan lebih mempertimbangkan guru ASN sudah mendapatkan tunjangan dari skema TPG, sehingga TPG tidak berjalan sebagaimana ASN lainnya. ASN selama ini mendapatkan tunjangan fungsional berdasarkan jabatan fungsional yang diembannya, yang besarannya variatif sesuai dengan pangkat dan jabatannya juga secara periodik meningkat sesuai dengan tingkat kemahalan yang ada di wilayahnya. Jadi sebeneranya di UU no 14 Tahun 2005 tentang Guru & Dosen pun sudah diberikan gambaran bagi guru yang belum bersertifikat mendapatkan tunjangan fungsional. Yaitu penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, baik guru ASN ataupun non ASN. Hal ini tertuang dalam pasal 80 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang berbuyi “guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional.”
Dengan demikian hal yang dipaparkan tersebut terbantahkan kalau konsepnya seperti diungkapkan di atas. Tidak ada alasan untuk memutihkan TPG dikarenakan ada guru yang belum tersertifikasi. Pertanyaaannya kenapa selama ini yang 1,6 juta tidak mendapatkan tunjangan fungsional atau sekurang kurangnya berjalan tapi tidak berdasarkan skema semestinya yang terpenting ada upaya peningkatkan kesejahteraan guru dengan mengoptimalkan tunjangan fungsional yang sudah dikontruksi baik di peraturan yang ada,
Untuk persoalan kesejahteraan pegawai ada beberapa pemerintah daerah yang mengiplementasikan dengan memberikan tunjangan penambahan penghasilan (TPP) atau TKD (tunjangan kinerja Daerah dimana Ada perubahan nomenklatur dari sebelumnya bernama Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) menjadi TPP. Dasar pembayaran TPP menyesuaikan kelas jabatan dan beban kerja jenis jabatan fungsional. Intinya dalam meningkatkan kesejahteraan PNS sudah di rancang dalam kontek peningkatan kinerja. Kondisi ini tidak merata di setiap Pemerintah Daerah dan tidak menyentuh semua permasalahan kesejateraan pegawai terutama kesejahteraan tenaga honorer termasuk kesejahteraan guru yang diangkat oleh masyarakat (Yayasan).
Penjelasan berikutnya yang muncul dalam paparan Nadiem di media on line BeritaSatu.com tentang “Nadiem Sebut RUU Sisdiknas Adalah Jawaban dari Keluhan Guru.” Senin, 12 September 2022. Serta laman podcast yang dirilis 3 minggu yang lalu dari chanel KEMENDIKBU RI tentang Kupas Tuntas Isu Kesejahteraan Guru danlam RUU Sisdikna, salah satu konten tentang mekanisme sertifikasi pendidik yang menjadi dasar pemberian tunjangan hanya berlaku untuk calon guru baru. Sedangkan guru-guru yang sudah mengajar tetapi belum sertifikasi akan diputihkan kewajibannya untuk memperoleh sertifikasi. Atau dengan penjelasan mengikuti mekanisme dalam UU Aparatur Sipil Negara untuk guru ASN dan UU Ketenagakerjaan untuk guru non-ASN.
Dengan demikian jelaslah cara pandang Kemendikbudristek dalam menyikapi persoalan TPG guru yang dikaitkan dengan kesejahteraan guru menjadi hal yang harus dicermati dan disikapi bersama. Cara pandang pemikiran tersebut bisa jadi belum memahami betul konsep TPG yang dikonstruksi sendiri di UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjang Profesi Guru dan Dosen. Padahal jelas TPG itu dasarnya lebih pada pemberian penghargaan kepada profesi guru. Semangat itu yang semestinya dipahami oleh Kemendikbudristek yang digawangi oleh Nadiem Makarim. Hal ini tertuang jelas di PP 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesional Guru dan Dosen, Tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan Kehormatan Profesor. Lebih jelas simak Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 poin 4 yang berbunyi; “…Tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya”.
Berbicara jauh tentang konsep tunjangan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru sebenarnya dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 pun dijelaskan tentang tunjangan fungsional guru baik ASN maupun guru Non-ASN. Juga tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang tertuang di pasal 15. Dengan demikian tunjangan profesi guru dan tunjangan fungsional guru sesuatu yang berbeda fungsinya. Selain itu kita bisa mencermati PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang sangat rinci menjelaskan segala bentuk tunjangan guru. Dapat dicermati di pasal 16 di mana di pasal tersebut dijelaskan rincian tunjangan baik tunjangan guru yang melekat dengan gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan. Dalam PP tersebut sangat gamblang tentang pendanaan pendidikan terutama tentang penjelasan biaya personal yang digambarkan rinci terkait segala jenis tunjangan. Kita bisa cermati bersama terutama di pasal 16.
Bahkan untuk guru Non ASN pun sudah diatur di dalam PP No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan pasal 17 bahwa tanggung jawab Pemerintah terhadap pendanaan biaya personalia bukan pegawai negeri sipil di sektor pendidikan terkait subsidi tunjangan fungsional guru non ASN yang diselenggarakan oleh masyarakat (dalam hal ini oleh yayasan), yang seharusnya selama ini mereka dapatkan secara otomatis walau belum mengikuti TPG untuk mendapatkan tunjangan profesi yang selama ini mereka mengantre lama. Wujud keberpihakan dalam mensejahterakan guru non ASN menjadi taruhan dalam persoalan yang sudah jelas tertuang dalam peraturan tersebut.
Selanjutnya dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN pemberian gaji dan konstruksi tunjangan lebih kepada skema kinerja, sehingga penilaian terhadap kinerja menjadi poin penting dalam konsep tunjangan yang kemudian diatur di beberapa aturan turunannya. Sedangkan tunjangan sertifikasi dikonstruksi oleh UU No. 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen serta dijelaskan secara rinci di PP Nomor 41 Tahun 2009 dan PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, lebih pada konsep penghargaan bagi guru.
Benang merahnya terkait persoalan TPG harus tetap eksis dan jelas tertuang dalam draf RUU Sisdiknas, tertera dalam pasal yang ada di batang tubuh bukan di aturan penjelasan atau peralihan, agar jelas sebagai rujukan dalam pembuatan aturan di bawahnya. Kemudian tunjangan fungsional guru bisa difungsikan dengan baik dengan rumusan yang jelas terutama bagi guru yang belum tersertifikasi.
Dengan demikian kiranya kita sebagai guru dalam PP No. 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, dalam pasal 45 ayat 1 guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di lingkungan satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional, sehingga berkontribusi besar dalam mencermati persoalan pendidikan yang terjadi. Besar harapan guru bisa berkembang menjadi tenaga profesional yang sejahtera dan bermartabat demi terwujudnya pendidikan yang menguatkan martabat Bangsa Indonesia, dan tercapainya Indonesia Emas 2045.
Semoga … (Qori. 2020).