Erik Wahyu Zaenal Qori, M.Pd.
Sekjen IGPKhI , SEGI Garut, Komunitas KACI. dan LSE
Ketika Disdik Jawa Barat berupaya mengevaluasi dan melakukan tindakan taktis dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 36532/Pw.06/Sekre Tentang Penghentian Sementara Rapat Komite Sekolah, terasa ada aroma permasalahan yang muncul. Bisa jadi pemberhentian sementara tersebut lebih pada upaya refleksi dari kajian regulasi serta menunggu hasil evaluasi utuh dimana dalam praktiknya Pergub Nomer 44 Tahun 2022 Tentang Komite Sekola Pada Sekolah Menengah Atas Negeri, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri, Dan Sekolah Luar Biasa Negeri telah menimbulkan atau ada potensi “kericuhan” dan tidak sesuai harapan awal. Untuk itu perlu penyamaan persepsi dengan memberikan upaya maksismal dalam sosialisasi atau ada beberapa pasal yang harus diselaraskan dan pada akhirnya ada agenda revisi peraturan tersebut.
Sejatinya motif Pemprov Jabar sudah baik, artinya memahami kondisi factual dalam pendanaan pendidikan memerlukan anggaran yang ideal dalam penyelenggaran pendidikan yang bermutu. Akan tetapi dalam implementasinya menyadari masih ada kekurangan dalam penerapan pendanaan pendidikan yang di skemakan dalam bantuan operasional sekolah (BOS).
Mencermati hasil riset oleh pemerhati pendidikan di tahun 2017 tentang perhitungan didasarkan atas pembiayaan yang mencakup biaya operasional non personalia. Biaya yang berhasil dihitung adalah RP. 5.500.000 (lima juta lima ratus ribu) per siswa per tahun. Dengan pendanaan demikian, diprediksi mampu mewujudkan pembelajaran yang berkualitas di sekolah (Inti, 2017). Dalam praktiknya BOS yang digelontorkan sesuai dengan Kepmendikbudristek Nomer 6 Tahun 2021 sebagai mana diubah dengan Permendikbudristek Nomer 2 Tahun 2022 Tentang Petunjuk Teknis Juknis BOS Reguler SD SMP SMA SMK, dapat dikatakn belum memenuhi sesuai dengan garis ideal tentang pembiayaan Pendidikan di tingkat satuan Pendidikan baik itu di SMA, SMK maupun SLB. Contoh di tahun 2021 dialokasikan setiap siswa jenjang SD/MI mendapat Rp930.000, Rp1.130.000 per siswa jenjang SMP/MTs, dan Rp1.540.000 setiap siswa jenjang SMA/MA. Dengan demikian maka ada selisih dari garis ideal tersebut.
Di sinilah letak persoalannya, dengan adanya “gap” tersebut tentu membawa pada situasi unik di lapangan terkait pembiayaan pendidikan yang tidak terpenuhi sesuai kebutuhan pengembangan sekolah yang ideal. Implikasinya tentu sekolah dan komite sekolah melakukan proses penggalangan dana stimulan dari unsur masyarakat (orang tua) yang pada akhirnya banyak keluhan.
Ketika pihak komite mencari solusi dengan segala kewenangannya akan tetapi sulit dilakukan karena adanya tantangan, seperti ada poin tentang saber pungli dan pemantauan dari kalangan LSM dalam fungsi kepengawasan pengelolaan pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Kehati-hatian tersebut menjadi potensi kepala satuan pendidikan dan komite sekolah tersandera dengan persoalan tersebut. Oleh sebab itu kekurangan ini semestinya menjadi tanggung jawab bersama karena tanggung jawab pendidikan tersebut berada pada pemerintah, orang tua dan masyarakat. Dalam UU Sisdiknas Nomer 20 Tahun 2003 dan PP 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan sudah diatur tentang pembiayaan pendidikan yang memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan khususnya penggalangan dana.
Dalam kajian ini setidaknnya kita sebagai pemerhati pendidikan ikut mencermati dan paling tidak memberikan sumbangsih pemikiran terkait masalah ini. Agar pengelolaan dan penggalangan dana pendidikan dapat berjalan sesuai dengan kaidah peraturan perundangan yang berlaku dan diterima oleh masyarakat dengan baik.
Yang pertama hapuskan dulu slogan “pendidikan gratis” yang pernah digaungkan dalam kampanye politik. Karena hal ini membawa pada framing bahwa penyelenggaraan pendidikan di jenjang pendidkan menengah pada satuan Pendidikan SMA dan SMK dan jenis Pendidikan Khusus pada satuan Pendidikan SLB yang ada dalam naungan Pemprov Jabar tidak berbiaya alias “gratis”. Setidaknya itu gambaran faktual yang ada di sebagian masyarakat Jawa Barat.
Kedua perlu edukasi kepada masyarakat khususnya orang tua siswa bahwa pendidikan tersebut tidak hanya tanggung jawab pemerintah/pemerintah daerah namun juga orang tua dan masyarakat. Dengan edukasi ini, para oran tua siswa ikut memikul tanggung jawab pembiayaan pendidikan anaknya. Sesungguhnya pendanaan pendidikan ada partisipasi masyarakat, bisa di cermati UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas di pasal 16 (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat . dengan demikian masyarakit ikut serta bertanggungjawab dalam pembiayaan pendidikan. Lebih operasional ada di dalam aturan PP 48 thn 2008 Tentang Dana Pendidikan.
Ketiga memberikan sosialisasi pergub no 44 tahun 2022 hasil revisi nanti dengan masif sehingga tidak ada hal hal yang menjadi multi tafsir dan ambigu sehingga menjadi peluang untuk menyalahgunakan wewenang, serta menjadi potensi maladministrasi yang diperankan komite sekolah dan pihak sekolah.
Keempat Pemprov Jabar dengan Disdiknya ikut memantau atau memberikan Tindakan tegas dengan melakukan skema verifikasi dan validasi yang komprehensif, terkait keberadaan komite komite sekolah yang ada di wilayah Jawa Barat untuk di tingkat satuan Pendidikan SMA, SMK dan SLB Negeri. Perlakukan aturan main yang benar dan tegas sekiranya ada komite sekolah yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.
Kelima memberikan batasan yang jelas antara sumbangan dan pungutan dan kejelasan tentang larangan. Jangan sampai ada pemahaman yang kemudian dikenal dengan pernyataan pungutan berbalut sumbangan padahal bisa jadi konsepnya pungutan. Memang dalam persoalan ini pihak komite sekolah khususnya lembaga sekolah membutuhkan anggaran yang pasti, terkait dengan skema pembiayaan yang jelas, sehingga pendanaan dalam skema penyusunan anggaran haruslah clear dan ada unsur kepastian dalam memenuhi anggaran yang direncanakan. Ketika sumbangan dengan konsep sukarela, tentu dalam implementasinya dapat diprediksi menjadi potensi tidak terpenuhi sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Program pengembangan dengan biaya sumbangan sukarela akan berjalan lamban dan jauh dari keberhasilan baik dari sisi capaian waktu maupun target program yang tidak pasti, sehingga gambaran sumbangan yang membangun kontinyuitas akan sulit diterjemahkan sebagai sesuatu yang tidak mengikat. Hal ini lah yang menjadi kesulitan dalam praktiknya, sehingga perlu rumusan yang bijak terkait sumbangan berdasarkan perhitungan yang pasti dalam hal jumlah dan waktu.
Keenam memberikan kejelasan terminologi larangan “pungutan” dan ini yang sangat bermasalah dan menyalahi aturan. Diantaranaya larangan bagi pendidik sesuai dengan PP 17 Tahun 2010 pasal 181. Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan (Pasal 9 Permendikbud 44 Tahun 2012); dan terakhir rincian larangan bagi Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya (Pasal 12 Permendikbud 75/2016)
Ketujuh penjelasan yang utuh tentang hubungan pendidikan dan pembiayaan. pendidikan tidak pernah lepas dari yang namanya pembiayaan. Tidak diragukan lagi bahwa pembiayaan itu hampir dikatakan sebagai ruh dalam dunia Pendidikan, tanpa biaya proses pendidikan disekolah akan sulit berlangsung. Maka dari itu sumber pembiayaan tidak lepas dari ruang lingkup kependidikan itu sendiri. Dengan kata lain pengelolaan pendidikan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk kebutuhan operasional. Di tingkat satuan pendidikan terkait pembiayaan pendidikan selain merupakan kegiatan rutin dari skema pendanaannya yang dari pemerintah, dan bersumber dari sejumlah pihak atau sektor yang dapat membantu dalam manajemen pembiayaan tersebut diantaranya adalah orangtua siswa dalam bentu sumbangan pendidikan yang dikenal selama ini adalah SPP yang diskemakan oleh komite sekolah.
Revitalisasi Komite Sekolah
Sejatinya dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pembiayaan pendidikan tidak terlepas dari sumber dan penggunaan dana pendidikan. Sumber pendidikan telah diatur dalam UU Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 47 yang bersumber dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan mendapat alokasi dana 20% dari APBN dan APBD. Penggunaan dana pendidikan juga telah diatur di pasal 48 dan 49 tentang pengelolaan dan pengalokasian dana pendidikan yang juga didapatkan dari APBN dan APBD.
Ada persoalan mendasar dari penerapan pembiayaan daerah berdampak pada pada penyelenggaran di tingkat satuan pendidikan SMA, SMK dan SLB Negeri di Provinsi Jawa Barat, sebagian besar dana yang dihimpun dari masyarakat juga dipergunakan untuk mencukupi beberapa kebutuhan-kebutuhan di sekolah diantaranya yaitu menambah kesejahteraan guru dan segala hal-hal yang tidak ada kaitanya langsung dengan peningkatan mutu pendidikan. Dengan melihat kondisi demikian maka diharapkan dalam penggunaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efesiensi, transparansi, dan akuntabilitasi.
Berbicara kembali tentang pembiayaan pendidikan yang berasal dari masyarakat (orang tua siswa) saat ini, tidak lain dikelola oleh pihak sekolah dalam bentuk komite sekolah. Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 56, Komite sekolah/madrasah dimaknai sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, selain itu diatur lebih teknis di Permendikbud Nomer 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah.
Dalam peraturan tersebut jelaslah bahwa komite sekolah memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting dalam menentukan kualitas penyelenggaran pendidikan. Yang harus dicermati hingga saat ini masih banyak komite sekolah yang belum berperan secara efektif dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Hal ini diungkapkan beberapa pengamat pendidikan dengan menganalisis salah satu faktor penyebabnya adalah karena desain kelembagaan tidak secara serius diberdayakan menjadi sebuah lembaga yang mandiri dan profesional. Oleh sebab itu penting kiranya untuk mengadakan revitalisasi kelembagaan dan peran Komite Sekolah dimulai pada saat penentuan struktur keanggotaannya. Dalam hal ini peran Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang didelegasikan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat sebagai pembina seyogyanya dapat melakukan pengawasan dan Tindakan pencegahan bahkan Tindakan memberikan sangsi tegas kepada komite yang tidak sesuai dengan kaidah pembentukan yang telah diundangkan.
Kiranya dalam pandangan yang lebih bijak tentu skenario dalam implementasi penggalangan dana sebagai peran keikutsertaan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan tentu harus berjalan seiring dengan linearitas program pengembangan sekolah yang dicita-citakan bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menuju pendidikan bermutu serta berkorelasi dengan berkembangnya mutu lulusan yang diharapkan, sejauh pemerintah belum bisa memenuhi secara penuh terkait dengan dana pendidikan.
Oleh sebab itu sebenarnya dalam kajian regulasi yang ada tidak menyalahi aturan ketika masyarakat ikut bertanggungjawab dalam pembiayaan pendidikan, disamping memang pemerintah maupun pemerintah daerah harus optimal dalam pengangaran di sektor pendidikan ke depan dan dikonstruksi dengan baik sehingga pihak penyelenggaran pendidikan di satuan pendidikan SMA, SMK dan SLB Negeri dapat memanfaatkan dana tersebut untuk proses pembiayaan yang efektif dan efesien menuju sekolah unggul dalam rangka tercapainya Jabar Juara.
Semoga …(@Qori2022)